Amerika Serikat resmi mundur dari peran mediator konflik Rusia-Ukraina. AS kini fokus perkuat kerja sama dengan Ukraina dan siapkan sanksi baru untuk Rusia.
Washington – Pemerintah Amerika Serikat (AS) secara resmi mengumumkan mundur dari peran sebagai mediator utama dalam perundingan damai antara Rusia dan Ukraina. Keputusan ini disampaikan pada Jumat (2/5/2025), setelah berbagai upaya diplomatik selama berbulan-bulan tidak menghasilkan kemajuan berarti.
Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Tammy Bruce, menyatakan bahwa tanggung jawab untuk mengakhiri konflik kini sepenuhnya berada di tangan kedua negara yang bertikai.
"Kami tidak akan terus-menerus terbang ke seluruh dunia hanya untuk memfasilitasi pertemuan. Saatnya Rusia dan Ukraina menyusun dan menawarkan solusi konkret untuk menghentikan perang ini," ujarnya, dikutip dari Euronews.
Trump Kecewa, AS Ambil Langkah Mundur
Presiden Donald Trump dan jajaran Gedung Putih disebut mengalami frustrasi mendalam akibat stagnasi proses perdamaian. Trump, yang pernah menyatakan dirinya mampu mengakhiri perang dalam satu hari jika kembali menjabat sebagai presiden, kini memilih untuk menghentikan keterlibatan AS.
Lewat unggahan di Truth Social, Trump menulis, "Vladimir, hentikan! 5.000 tentara tewas setiap minggu. Mari selesaikan perdamaian ini," merespons serangan udara Rusia ke Kyiv pada 24 April 2025 yang menewaskan sedikitnya 12 warga sipil.
Hubungan AS-Ukraina Tetap Erat
Meski tidak lagi menjadi mediator, AS tetap memperkuat hubungan strategis dengan Ukraina. Washington dan Kyiv baru saja menandatangani kesepakatan kerja sama di bidang mineral penting. Selain itu, AS akan terus memberikan dukungan berupa teknologi, pelatihan militer, dan peralatan tempur.
Departemen Luar Negeri AS juga telah menyetujui penjualan sistem pertahanan senilai lebih dari 50 juta dollar AS (sekitar Rp823 miliar) kepada Ukraina.
Sanksi Baru untuk Rusia Masih Menunggu Persetujuan
AS juga tengah menyiapkan paket sanksi ekonomi tambahan terhadap Rusia. Sanksi ini akan menyasar perusahaan besar seperti Gazprom serta sejumlah institusi perbankan dan sektor sumber daya alam. Namun, pemberlakuan sanksi ini masih menunggu keputusan akhir dari Presiden Trump.