Fenomena meme anomali atau Italian brainrot sedang populer di TikTok dan digemari anak-anak Gen Alpha. Pakar sarankan pengawasan orangtua lebih ketat.
Jakarta - Fenomena konten meme anomali atau "Italian brainrot" sedang menjadi tren di kalangan anak-anak generasi Alpha di media sosial, khususnya TikTok. Tren ini membuat banyak orangtua merasa khawatir karena konten-konten tersebut dinilai tidak sesuai untuk anak-anak.
Konten meme anomali sering kali menampilkan karakter unik dengan bentuk dan narasi yang tidak biasa. Anak-anak bahkan mulai menirukan kata-kata dari meme tersebut di dunia nyata, seperti "tung tung tung sahur" dan "ballerina cappuccina".
Beberapa orangtua mengungkapkan kekhawatiran mereka di kolom komentar TikTok, karena konten semacam ini dianggap tidak cocok untuk konsumsi anak-anak. Salah satu contoh adalah karakter yang menggunakan tongkat bisbol untuk menyerang karakter lain karena memperebutkan sosok "ballerina cappuccina".
Dr. dr. Taufiq Pasiak, M.Kes., M.Pd.I., Dekan Fakultas Kedokteran UPN Veteran Jakarta, menjelaskan bahwa anak-anak menyukai hal-hal yang berbeda dari konten mainstream. Mereka cenderung tertarik pada efek kejut (shock effect) dari narasi, warna, hingga suara.
Menurut Taufiq, konten yang absurd seperti karya Franz Kafka memberikan kejutan yang membuat anak-anak merasa lebih terhibur dibandingkan dengan konten biasa yang memiliki alur dan tokoh baik-jahat.
Beberapa efek kejut dari meme anomali antara lain adalah bentuk karakter yang tidak biasa seperti gabungan manusia, hewan, dan benda mati. Contohnya, "tung tung tung sahur" memiliki tangan, kaki, dan membawa tongkat bisbol, sedangkan "ballerina cappuccina" memiliki kepala berbentuk cangkir berisi cappuccino.
Dari segi visual, warna karakter meme anomali jauh lebih kontras dibandingkan kartun biasa. Mereka juga memiliki kata-kata khas yang berulang dan mudah diingat anak-anak.
Namun, narasi dalam meme anomali sering kali tidak cocok untuk anak-anak karena mengandung unsur kekerasan, perselingkuhan, bahkan tema seksual. Oleh karena itu, Taufiq menekankan pentingnya peran orangtua dalam mengawasi konten yang dikonsumsi anak-anak.
Ia menyarankan agar orangtua tidak membiarkan anak menonton video pendek tanpa pengawasan. Durasi video yang terlalu singkat, seperti di TikTok, bisa menyebabkan anak sulit fokus dalam jangka panjang.
Solusinya, arahkan anak ke konten berdurasi lebih panjang (minimal tujuh menit) yang tetap menarik bagi mereka. Dengan begitu, anak bisa belajar fokus sekaligus tetap terhibur.