Aliansi Mahasiswa UGM kembali menggelar aksi tenda di depan Rektorat untuk memprotes kekerasan seksual, militerisme kampus, dan kebijakan pendidikan yang tidak adil.
Yogyakarta – Kelompok Aliansi Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) kembali menggelar aksi protes terhadap buruknya penanganan kasus kekerasan seksual serta meningkatnya praktik militerisme di lingkungan kampus. Aksi ini dilakukan dengan mendirikan tenda di depan Gedung Rektorat UGM pada Rabu sore, 14 Mei 2025.
Aksi simbolik berkemah ini merupakan bentuk kritik atas menyempitnya ruang aman bagi mahasiswa untuk menyuarakan pendapat. Menurut perwakilan Aliansi Mahasiswa UGM, yang menyebut dirinya Halimah (nama samaran), mereka menuntut rektorat untuk berpihak pada mahasiswa dan rakyat dengan menyatakan mosi tidak percaya terhadap lembaga negara serta menolak campur tangan militer di lingkungan kampus.
Aliansi juga menyuarakan penolakan terhadap relokasi anggaran pendidikan oleh pemerintah pusat dan mendesak UGM menciptakan ruang publik kampus yang inklusif bagi seluruh mahasiswa, termasuk mereka dari latar belakang rentan.
Terkait penanganan kekerasan seksual, Halimah menilai sistem yang ada belum berpihak kepada korban. Penanganan dinilai tidak transparan, minim akses pendampingan dari luar, dan pemulihan trauma yang masih lemah.
Menurut data Biro Humas dan Protokol UGM, terdapat 13 laporan kekerasan seksual selama Januari–Maret 2025. Pada 2024, tercatat 52 kasus, dan sepanjang 2020–2023, total 79 kasus dengan 30 di antaranya sudah diselesaikan. Kasus terbaru melibatkan belasan mahasiswa Fakultas Farmasi, dengan pelaku utama adalah Guru Besar Edy Meiyanto, yang telah diberhentikan dari jabatan dosen. Meski demikian, hingga kini belum ada laporan resmi ke kepolisian terhadap pelaku.
Selain Edy, dua profesor lain juga terseret dalam kasus serupa, memperkuat kritik mahasiswa akan perlunya tindakan tegas dan sistem yang berpihak pada korban.
Aksi berkemah ini bukan kali pertama dilakukan. Pada Mei tahun lalu, mereka juga mendirikan tenda untuk memprotes pungutan uang pangkal atau Iuran Pengembangan Institusi (IPI). Sejak itu, mereka rutin mengadakan konsolidasi untuk membahas persoalan struktural kampus dan menuntut perbaikan nyata.