Pemerintah mewacanakan penurunan PPN agar setara dengan Singapura. Ekonom mengingatkan risiko ketidakpastian bagi pelaku usaha dan pentingnya reformasi fiskal.
Jakarta – Rencana pemerintah Indonesia untuk menurunkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) agar setara dengan Singapura memicu perdebatan di kalangan pakar ekonomi. Saat ini, tarif PPN di Singapura berada di angka 9 persen, sementara Indonesia menerapkan tarif sebesar 11 persen untuk barang nonmewah dan 12 persen untuk barang mewah.
Usulan Hashim dan Reaksi Ekonom
Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim dan Energi, Hashim Djojohadikusumo, menyampaikan bahwa penurunan tarif PPN menjadi salah satu upaya meningkatkan rasio penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Dalam konferensi DBS Asian Insight di Jakarta Selatan (21/5), Hashim menekankan bahwa langkah ini bukan bagian dari rencana kenaikan pajak, melainkan perluasan basis pajak.
Ekonom Universitas Gadjah Mada, Eddy Junarsin, menilai perubahan tarif pajak seharusnya dilakukan dengan hati-hati. Menurutnya, perubahan yang terlalu cepat dapat menciptakan ketidakpastian bagi dunia usaha.
"Efek penurunan PPN harus diteliti secara ilmiah. PPN baru saja naik, jika terlalu sering naik-turun bisa membingungkan pelaku usaha," ujarnya.
Eddy juga menyarankan agar pemerintah lebih fokus pada pembenahan struktur Pajak Penghasilan (PPh), termasuk insentif bagi korporasi yang menyerap banyak tenaga kerja.
Potensi Pertumbuhan Ekonomi dan Tantangan Pengawasan
Bhima Yudhistira, ekonom sekaligus Direktur Celios, menyambut baik wacana ini. Menurutnya, penurunan PPN dapat mendorong konsumsi masyarakat yang pada akhirnya meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Namun, ia menekankan pentingnya disertai strategi pendukung seperti reformasi birokrasi dan penguatan pengawasan pajak.
"Beberapa negara seperti Vietnam, Irlandia, dan Jerman telah sukses menurunkan tarif PPN untuk mendorong pemulihan ekonomi. Tapi mereka juga memberikan insentif dan memperbaiki sistem fiskalnya," kata Bhima.
Ia menambahkan bahwa penerimaan negara dari sektor Pajak Penghasilan bisa meningkat jika konsumsi tumbuh. Industri pengolahan dalam negeri dinilai sebagai sektor yang paling diuntungkan dari kebijakan ini.
Namun demikian, Bhima juga mengingatkan bahwa kebocoran pajak di sektor sumber daya alam, terutama pertambangan dan perkebunan, masih menjadi hambatan besar. Ia mendorong pemerintah untuk memperluas ambang batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) guna meningkatkan daya beli masyarakat kelas menengah.
Upaya Pemerintah Tanpa Menaikkan Pajak
Hashim menegaskan bahwa pemerintah tidak berniat menaikkan tarif pajak. Fokusnya adalah memperluas basis pajak dengan menjangkau kelompok masyarakat yang selama ini belum terdata sebagai wajib pajak. Ia menyebut bahwa Indonesia bisa meningkatkan rasio pajaknya ke level Kamboja atau Vietnam tanpa menaikkan tarif, hanya dengan meningkatkan kepatuhan.