Sekitar 60 persen warga Indonesia masih tergolong miskin menurut standar Bank Dunia. Pemerintah perlu percepat reformasi struktural untuk capai target ekonomi 2045.
Jakarta - Sekitar 60 persen masyarakat Indonesia masih masuk dalam kategori miskin menurut standar Bank Dunia terbaru. Bank Dunia menetapkan ambang batas kemiskinan untuk negara berpendapatan menengah ke atas sebesar 6,85 dolar AS per kapita per hari atau sekitar Rp 115.000 (kurs Rp 16.780).
Dalam laporan 2024, Bank Dunia mencatat bahwa 60,3 persen warga Indonesia hidup dengan pengeluaran di bawah ambang batas tersebut menggunakan standar Purchasing Power Parity (PPP) 2017. Meskipun angka ini menurun dari 61,8 persen pada 2023, hal ini tetap menunjukkan ketimpangan distribusi manfaat pertumbuhan ekonomi, terutama di kalangan masyarakat menengah ke bawah.
Perbedaan angka ini cukup mencolok jika dibandingkan dengan garis kemiskinan nasional yang digunakan Indonesia, yaitu sebesar 2,15 dolar AS per kapita per hari atau sekitar Rp 35.700.
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2024 tetap solid di angka 5 persen, didorong oleh kuatnya konsumsi domestik dan belanja pemilu. Namun, penciptaan lapangan kerja berkualitas masih tertinggal. Tingkat pengangguran turun menjadi 4,8 persen, namun underemployment justru meningkat menjadi 8,5 persen.
Kondisi ini menandakan banyak warga yang bekerja di sektor informal atau tidak sesuai dengan kompetensi mereka. Hal ini menjadi tantangan serius dalam upaya peningkatan kesejahteraan.
Indonesia resmi masuk ke dalam kategori negara berpendapatan menengah ke atas pada 2023 dan menargetkan status negara berpendapatan tinggi pada 2045. Untuk mencapainya, laju pertumbuhan ekonomi harus ditingkatkan minimal 6 persen per tahun, dengan target 8 persen pada 2029 melalui percepatan investasi.
Namun, produktivitas tenaga kerja mengalami penurunan dalam satu dekade terakhir. Total Factor Productivity (TFP) turun dari 2,3 persen pada 2011 menjadi 1,2 persen pada 2024. Ini mengindikasikan perlunya reformasi struktural, termasuk pendalaman sektor keuangan, perbaikan iklim investasi dan perdagangan, serta peningkatan efisiensi alokasi sumber daya.
Plt Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, menyatakan bahwa standar kemiskinan versi Bank Dunia hanya bersifat referensi. Ia menegaskan bahwa Indonesia tidak wajib mengadopsinya secara langsung.
"Mari kita lebih bijak memaknai angka kemiskinan dari Bank Dunia. Itu hanya acuan, bukan keharusan," ujarnya dikutip dari Kompas.com, Rabu (30/4/2025).