Pagi itu di pasar tradisional Nusantara, seorang ibu membayar belanjaan sayur cukup dengan menempelkan ponselnya ke papan bertuliskan “QRIS Bangkit untuk Negeri.” Dalam satu detik, Rp12.500 langsung terpotong dari dompet digitalnya. Selesai transaksi, sang ibu pun bersenandung lagu "Indonesia Raya".
Namun, ribuan kilometer dari pasar itu, suara geram terdengar dari Gedung Putih. “Kenapa bukan PayPal? Kenapa bukan Stripe? Mana Visa?” teriak seorang pejabat AS sambil menggigit pena, seolah sedang main sinetron.
Inilah pangkal kegelisahan Amerika: QRIS dan GPN. Dua teknologi finansial lokal yang tampaknya sederhana, tapi cukup membuat jantung ekonomi global berdetak tak karuan.
QRIS: Kode QR yang Bikin Paman Sam Demam
Sejak diluncurkan pada 2019, QRIS kini digunakan lebih dari 30 juta merchant di seluruh Indonesia. Total transaksinya mencapai Rp28 triliun per Maret 2025. Angka ini cukup untuk mengaspal ulang jalan dari Sabang sampai Merauke—dan kalau mau, bikin tugu QRIS setinggi Monas.
Sementara itu, sistem GPN (Gerbang Pembayaran Nasional) memperkuat transaksi kartu domestik dan mencegah aliran biaya transaksi ke luar negeri. Ini membuat uang berputar di dalam negeri, bukan nyasar ke Silicon Valley.
Masalahnya? Amerika Serikat melihat ini sebagai ancaman serius. Alih-alih fokus pada inflasi 3,4% atau harga telur yang naik jadi USD 4 per lusin, mereka malah bertanya: kenapa QR Indonesia tidak mencetak dolar?
GPN: Simbol Kedaulatan Digital, Bukan Isolasi
Bayangkan sistem pembayaran yang tidak bergantung pada Visa atau Mastercard, tidak membayar biaya dalam USD, dan tidak perlu persetujuan dari raksasa teknologi luar negeri. Inilah GPN, dan ini cukup untuk membuat banyak pihak resah.
Menurut data Bank Indonesia, GPN telah menghemat biaya transaksi lintas jaringan sebesar Rp1,2 triliun per tahun. Angka ini setara dengan sekitar 4,8 juta porsi nasi padang—cukup untuk membujuk seluruh Dewan Keamanan PBB agar setuju menaikkan harga cabe.
Drama Dagang: Amerika Protes, Indonesia Santai
Ketika AS mengajukan protes resmi, Indonesia menanggapi dengan tenang. Pemerintah menawarkan negosiasi 60 hari, alih-alih tunduk begitu saja. Bagi sebagian pejabat AS, QRIS dianggap "merusak kompetisi"—padahal mungkin mereka hanya khawatir biaya admin mereka tersaingi.
Presiden Prabowo Subianto bahkan ikut angkat suara. “Kami bukan anti asing,” katanya sambil ngopi. “Tapi kalau beli gorengan pakai QRIS dianggap pelanggaran WTO, mungkin logo Garuda harus diganti jadi kode QR.”
QRIS dan Kedaulatan Ekonomi
Sementara Washington meradang, rakyat Indonesia justru makin nyaman scan barcode buat beli boba, bukan senjata. Lewat QRIS, Indonesia membuktikan bahwa kedaulatan ekonomi juga berarti bebas dari biaya admin USD 1.50 yang perlahan menggerogoti devisa.
Data Kementerian Keuangan mencatat bahwa sistem pembayaran domestik memberi efisiensi fiskal hingga 0,4% PDB, atau sekitar Rp84 triliun—cukup untuk membangun 17 stasiun MRT atau bantu mahasiswa beli kuota kuliah daring.
QRIS Bukan Ancaman, Tapi Aset Nasional
Jadi, apakah bangsa berdaulat tak boleh menentukan sistem pembayarannya sendiri? Jika QRIS dianggap senjata ekonomi, maka ibu-ibu pasar tradisional adalah pasukan elite paling ditakuti Pentagon.
Indonesia tidak sedang menutup diri dari dunia. Tapi Indonesia juga tak mau terus bergantung pada sistem luar. Kalau perlu, kita pakai slogan baru:
“Dengan QRIS kami berbelanja, dengan GPN kami berdaulat.”
Dan kalau tekanan terus datang? Jangan kaget kalau muncul gerakan baru:
“Kode QRIS Bukan Kudeta, Tapi Cinta.” Lengkap dengan bendera, mars, dan mungkin... QRIS di kaus kaki.