Ekonom memperkirakan konsumsi rumah tangga kuartal II-2025 stagnan karena tekanan harga, cicilan, dan kehati-hatian konsumen.
Jakarta – Pertumbuhan konsumsi rumah tangga dan daya beli masyarakat pada kuartal II-2025 diperkirakan stagnan, bahkan cenderung melambat dibandingkan kuartal sebelumnya. Meski ada momen Idul Adha dan pencairan gaji ke-13 untuk ASN, efeknya dinilai belum cukup kuat untuk mendorong pertumbuhan konsumsi.
Ekonom Bright Institute, Yanuar Rizky, menjelaskan bahwa momen Lebaran dan pencairan THR pada kuartal I-2025 lalu juga terbukti tidak mampu meningkatkan daya beli secara signifikan. Ia memperkirakan pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya akan berada di kisaran 4,79% hingga 4,89%.
Menurut Yanuar, salah satu penyebab stagnannya konsumsi adalah menurunnya daya beli kelas menengah bawah yang selama ini mengandalkan tabungan. Kondisi diperparah dengan peningkatan kredit bermasalah (non-performing loan/NPL), baik dari kartu kredit maupun pinjaman online.
"Kalaupun ada gaji ke-13, kemungkinan besar akan digunakan untuk membayar utang, bukan untuk konsumsi tambahan," jelasnya.
Sementara itu, Kepala Makroekonomi dan Keuangan INDEF, Muhammad Rizal Taufikurahman, menilai pertumbuhan konsumsi rumah tangga masih berpotensi meningkat secara moderat di kisaran 4,9% hingga 5,0% year-on-year. Namun, ia menekankan bahwa tekanan harga dan ketidakpastian ekonomi global membuat konsumen cenderung berhati-hati.
Rizal juga menyoroti bahwa efektivitas stimulus fiskal sangat bergantung pada persepsi masyarakat terhadap stabilitas ekonomi dan keberlanjutan pendapatan.
Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, memperkirakan pertumbuhan konsumsi akan sedikit melambat menjadi 4,83% yoy, turun tipis dari kuartal I-2025 yang berada di level 4,89%. Ia menyebutkan realisasi belanja fiskal seperti THR dan gaji ke-13 memang bisa mendorong konsumsi, namun belum cukup kuat untuk mengubah tren konsumsi secara signifikan.
Menurut Josua, kekhawatiran masyarakat terhadap prospek pekerjaan dan usaha masih tinggi. Hal ini tercermin dari peningkatan tabungan, penurunan rasio konsumsi, serta tekanan dari fluktuasi harga pangan dan biaya transportasi.
"Belanja pemerintah di awal tahun yang belum optimal juga mengurangi multiplier effect bagi belanja rumah tangga," pungkasnya.