Usai kesepakatan pengurangan tarif, pertumbuhan ekonomi China dan AS naik. Inflasi terkendali, sementara beberapa negara lain alami dampak berbeda.
Jenewa – Ketegangan dagang antara dua raksasa ekonomi dunia, China dan Amerika Serikat, mulai mereda setelah kesepakatan pengurangan tarif perdagangan sementara selama 90 hari tercapai dalam pertemuan di Jenewa akhir pekan lalu. Langkah ini memicu optimisme baru terhadap prospek ekonomi global.
Tarif Dipangkas, Proyeksi Ekonomi Meningkat
Amerika Serikat sepakat menurunkan tarif impor terhadap barang dari China, dari 145% menjadi 30%. Sebagai balasan, China memangkas tarif atas barang-barang asal AS dari 125% menjadi 10%.
Menurut Bloomberg (Minggu, 18/5/2025), sejumlah lembaga keuangan global seperti Goldman Sachs, JPMorgan, ING, dan Bloomberg Economics memperkirakan pertumbuhan ekonomi China bisa mencapai 4,6% tahun ini, meningkat dari proyeksi sebelumnya yang hanya 4%.
AS Hindari Resesi, Inflasi Tetap Terkendali
Di sisi lain, meskipun ekonomi AS masih menghadapi perlambatan, banyak ekonom kini tidak lagi memprediksi resesi. Kenaikan tarif memang berpotensi memicu inflasi, tetapi data terbaru menunjukkan harga konsumen masih di bawah ekspektasi.
Laporan harga produsen juga mengindikasikan bahwa pelaku usaha memilih menanggung beban tarif tambahan ketimbang menaikkan harga. Hal ini terlihat pada kategori barang seperti mobil dan pakaian, yang harganya tetap stabil meski tarif meningkat.
Konsumen Pangkas Belanja Rekreasi
Sementara itu, di sektor jasa seperti perjalanan dan hiburan, terjadi penurunan harga. Fenomena ini mencerminkan konsumen mulai mengurangi pengeluaran untuk kebutuhan non-pokok, meskipun daya beli masih relatif terjaga.
Perkembangan Ekonomi Global
Australia mencatatkan pertumbuhan upah yang lebih tinggi dari ekspektasi, didorong oleh peningkatan perekrutan di sektor publik. Namun, hal ini tidak banyak mengubah ekspektasi penurunan suku bunga pekan depan.
Inggris menghadapi gelombang PHK tiga bulan berturut-turut akibat kenaikan pajak sebesar £26 miliar dan ketidakpastian global. Jumlah pekerja menyusut dari 32,5 juta menjadi 30,3 juta, dengan penurunan lowongan kerja tertinggi dalam setahun terakhir.
Meksiko mengambil langkah stimulatif dengan memangkas suku bunga acuan sebesar 0,5 poin setelah ekonominya nyaris masuk jurang resesi dan inflasi meningkat tajam.