Ribuan warga Amerika Serikat kembali turun ke jalan pada Sabtu (19/4/2025) dalam rangkaian aksi protes nasional yang menentang Presiden Donald Trump. Fokus utama demonstrasi adalah penolakan terhadap kebijakan garis keras Trump di bidang imigrasi, sains, dan supremasi hukum.
Aksi unjuk rasa terjadi serentak di berbagai kota besar seperti New York City, Washington DC, San Francisco, dan Galveston, Texas. Protes ini menjadi bagian dari gerakan terkoordinasi secara nasional untuk menentang kebijakan yang dianggap mengancam nilai-nilai demokrasi Amerika.
Spanduk Penolakan dan Seruan Anti-Tirani
Di New York, ribuan massa berkumpul di depan perpustakaan utama sambil mengangkat spanduk bertuliskan pesan seperti “Tidak Ada Raja di Amerika” dan “Tolak Tirani”. Seruan keras terhadap kebijakan deportasi juga terdengar lantang: “No ICE, No Fear, Immigrants are Welcome Here.”
Demonstran menyoroti peran ICE (Imigration and Customs Enforcement) dalam menangkap dan mendeportasi imigran tidak berdokumen sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Kekhawatiran Terhadap Supremasi Hukum
Di depan Gedung Putih, ratusan warga menyuarakan kekhawatiran atas ancaman terhadap norma-norma demokrasi dan konstitusi.
“Pemerintahan ini sedang menyerang prinsip dasar supremasi hukum,” ujar Benjamin Douglas (41), seorang demonstran yang juga membawa poster tuntutan pembebasan Mahmoud Khalil, mahasiswa pro-Palestina yang ditangkap bulan lalu.
Douglas menilai penangkapan seperti itu memicu xenofobia dan melemahkan perlindungan hukum bagi semua orang di AS. “Kita berada dalam ancaman serius,” katanya, dikutip dari AFP.
Perbandingan dengan Sejarah Kelam
Kathy Valy (73), seorang warga New York dan anak dari penyintas Holocaust, juga ikut turun ke jalan. Ia membandingkan situasi politik saat ini dengan awal kekuasaan Adolf Hitler.
“Cerita tentang bagaimana Hitler naik ke tampuk kekuasaan—itulah yang sedang kita saksikan di sini,” ucapnya. Meski menyebut Trump lebih tidak kompeten dibandingkan pemimpin fasis lainnya, ia menegaskan situasi ini tetap berbahaya.
Ilmuwan Muda Protes Pemotongan Dana Riset
Protes juga datang dari kalangan akademik. Daniella Butler (26), mahasiswa doktoral imunologi di Universitas Johns Hopkins, mengkritik pemotongan anggaran sains dan kesehatan oleh pemerintahan Trump.
Dengan membawa peta penyebaran wabah campak di Texas, Butler berkata, “Ketika sains diabaikan, nyawa jadi taruhannya.” Pernyataannya juga mengarah pada Robert F. Kennedy Jr., Kepala Kesehatan Trump yang dikenal sebagai penolak vaksin.
Simbol Perlawanan dan Aksi Damai Terkoordinasi
Aksi simbolik juga terlihat di kota-kota kecil. Di Galveston, Texas, meski jumlah massa tidak besar, semangat tetap tinggi.
“Ini demo keempat saya. Kali ini saya tak bisa hanya menunggu pemilu,” kata Patsy Oliver (63), seorang penulis.
Sementara itu, di San Francisco, ratusan orang membentuk formasi bertuliskan “IMPEACH + REMOVE” di tepi pantai. Beberapa peserta juga membalik bendera AS sebagai simbol darurat demokrasi.
Digerakkan oleh Gerakan 50501
Aksi nasional ini diorganisasi oleh Gerakan 50501, yang mengoordinasikan lebih dari 50 protes di seluruh negara bagian dan satu aksi pusat berskala nasional.
Menurut situs resminya, sekitar 400 demonstrasi telah direncanakan dalam gelombang protes ini.
Dalam pernyataannya, Gerakan 50501 menyebut bahwa aksi ini merupakan “respons cepat terhadap kebijakan anti-demokrasi dan ilegal dari pemerintahan Trump serta sekutu plutokratisnya.” Mereka juga menekankan bahwa semua aksi digelar secara damai dan bertujuan menjaga nilai-nilai demokrasi Amerika.