Aliansi PKTA menolak program semi-militer Dedi Mulyadi karena dinilai melanggar hak anak dan meminta Presiden Prabowo untuk segera bertindak menghentikannya.
Jakarta – Kebijakan kontroversial Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang mengirim siswa bermasalah ke barak militer menuai kritik tajam. Aliansi Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak (Aliansi PKTA) meminta Presiden Prabowo Subianto turun tangan menghentikan program tersebut.
Menurut Aliansi PKTA, pendidikan disiplin bergaya militer tidak cocok diterapkan kepada anak-anak. Mereka menilai kebijakan itu justru bertentangan dengan prinsip perlindungan anak yang dijamin oleh hukum nasional dan internasional.
"Mengirim anak ke barak TNI sebagai bentuk pendisiplinan bukan hanya melanggar hak anak, tapi juga bisa menyebabkan stigma negatif karena mereka dilabeli sebagai anak nakal," jelas pernyataan resmi dari aliansi, Minggu (4/5/2025).
Aliansi juga menyoroti risiko kekerasan yang mungkin terjadi dalam lingkungan militer. Mereka merujuk data Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) yang mencatat 64 insiden kekerasan TNI terhadap warga sipil dari Oktober 2023 hingga September 2024. Beberapa korban bahkan anak di bawah umur.
Salah satu kasus menyedihkan melibatkan anak berinisial MHS yang meninggal dunia usai dianiaya oleh anggota TNI dalam insiden tawuran. Aliansi menegaskan, fakta ini menjadi alasan kuat mengapa anak tidak boleh ditempatkan dalam lingkungan yang mengedepankan kekerasan.
Mereka mendesak Presiden Prabowo agar menginstruksikan jajaran pemerintah untuk mengedepankan pendekatan ramah anak dalam menangani perilaku menyimpang pelajar.
Program pendidikan karakter semi-militer itu sudah mulai dijalankan sejak 1 Mei 2025. Purwakarta dan Bandung menjadi daerah pertama yang menerapkan kebijakan tersebut, dan setidaknya 69 pelajar telah dikirim ke barak militer. Dedi Mulyadi menyatakan bahwa program ini ditujukan bagi siswa mulai dari tingkat sekolah menengah pertama.